Nabi Muhammad SAW. yang mulia dilahirkan dari pernikahan ayah beliau Abdullah bin Abdil Muththalib dengan Aminah bintu Wahhab. Disebutkan di dalam sejarah bahwasanya.
Abdul Muththalib bernadzar bahwa, Apabila saya punya anak,10 diantaranya laki-laki maka saya akan sembelih salah satunya.Pada zaman jahiliyyah,bersumpah merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah. Kenapa Abdul Mutthalib sampai berani bernadzar demikian? Karena pada saat menggali sumur zamzam.
Abdul Muththalib baru memiliki seorang anak yaitu Al-Harits. Sehingga ketika dia diusik oleh orang-orang Arab yang lain dia tidak bisa melawan,sebab anak laki-lakinya hanya satu.Karena itu dia berangan-angan mempunyai 10 anak laki-laki.
Akhirnya Allah mengabulkan sumpahnya,sehingga dia harus menjalankan nadzarnya. Akhirnya dia mengundi untuk menentukan siapa anaknya yang akan disembelih, maka keluarlah nama
Abdullah, padahal dia sangat sayang kepada ‘Abdullah. Saat itu Abdul Muthalib mengatakan: Ya Allah,dia atau 10 ekor unta?” Kemudian dilemparkanlah nama anaknya dan unta. Maka yang keluar nama ‘Abdullah. Maka dia berkata lagi: “Ya Allah, anakku atau 10 ekor unta?” Dilemparkan lagi nama anaknya tersebut dan unta, ternyata keluar lagi nama ‘Abdullah. Sampai lemparan yang ke-10 barulah keluar nama unta. Dari situlah akhirnya dia tidak jadi menyembelih anaknya yaitu ‘Abdullah dan menggantinya dengan 100 ekor unta. Dari sinilah para ulama menjelaskan bahwa apabila seseorang membunuh orang lain kemudian dia diwajibkan membayar diyat (denda/tebusan pembunuhan), maka dia harus membayar dengan menyembelih 100 ekor unta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga ‘Abdullah, karena ‘Abdullah adalah bapaknya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Adapun ibunda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bernama Aminah bintu Wahb bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab.Nasabnya bertemu dengan nasab ayah Nabi pada Kilab.
Ada riwayat-riwayat dusta tentang ‘Abdullah, diantaranya disebutkan bahwa tatkala ‘Abdullah sudah menikahi Aminah ternyata dia memiliki istri yang lain. Ada yang mengatakan ‘Abdullah memiliki pacar wanita pezina atau wanita yang ditawarkan kepadanya untuk digauli.
suatu pernikahan yang dinamakan dengan istibdha, yaitu seorang lelaki memiliki istri yang tatkala istrinya haidh, ditunggu sampai bersih lalu diberikan kepada laki-laki yang dianggap nasabnya baik agar dia memiliki keturunan yang bagus, setelah itu dikembalikan kepada suaminya dan ditunggu sampai istrinya hamil kemudian digauli oleh suaminya sendiri.
Ada juga riwayat yang lemah dan palsu yang menyebutkan bahwa ‘Abdullah ketika mendatangi wanita ini (istrinya yang lain atau wanita pezina atau istri orang lain yang minta digauli), wanita ini melihat ada cahaya di wajah ‘Abdullah, namun ‘Abdullah tidak sempat menggauli wanita tersebut dan malah pergi menggauli Aminah istrinya. Setelah menggauli Aminah maka ‘Abdullah kembali ke wanita tadi, ternyata cahayanya sudah hilang dan wanita itu pun menolaknya.
Ini adalah contoh kisah-kisah dengan riwayat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah As-Shahihah 1/94-95).
Sebagian orang terlalu ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini,ingin menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam itu bercahaya, dimana cahaya tersebut berasal dari ayahnya. Kemudian tatkala ayahnya berhubungan dengan ibunya maka cahaya tersebut menetap di Nabi. Maka ini adalah kisah yang ghuluw dan tidak benar. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memang bercahaya tetapi bukan cahaya sebagaimana sinar yang keluar dari tubuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (45) وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
● Wahai Nabi,Kami mengutus engkau sebagai pemberi saksi, sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (45) Dan menyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai lampu yang bercahaya (46) [Al-Ahzab 45-46]
Benar bahwa Nabi sifatnya bercahaya (memberi cahaya), tapi maksud Allah bukan seperti cahaya lampu yang sebenarnya,tetapi ajaran Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah yang penuh dengan cahaya.
Oleh karena itu, sebagian orang berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mempunyai bayangan, karena tubuh beliau bercahaya sehingga ketika terkena sinar matahari, sinar matahari tersebut terpantulkan kalah dengan cahaya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Namun kisah semacam ini tidaklah benar. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bercahaya biasa, yaitu wajah beliau indah, luar biasa tampan, beliau putih dan indah dipandang, namun bukan bermakna ada sinar yang keluar dari tubuh beliau.
Perhatikanlah persaksian bunda ‘Aisyah radhiyallahu Ta’ala ‘anha dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim di bawah ini
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم -وَرِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ- فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي , فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ ، وإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا ، وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
‘Aisyah berkata: “Saya tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, tatkala beliau akan sujud maka beliau memegang kakiku (agar kaki ‘Aisyah dilipat supaya ada tempat untuk sujud Nabi, karena rumah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kecil –pen), tatkala itu rumah-rumah tidak ada lampunya. (HR Al-Bukhari no 382 dan Muslim no 512)
Seandainya rumah Aisyah ada lampunya maka Aisyah akan menarik kaki Nabi sebelum beliau sujud, namun Aisyah menarik kakinya menunggu disentuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Kalau seandainya tubuh Nabi bercahaya seperti lampu, Aisyah tidak perlu menunggu disentuh terlebih dahulu agar menarik kakinya.Oleh karena itu, yang bercahaya adalah ajaran beliau dan bukan tubuhnya yang bercahaya.
Dalam hadits yang lain, Aisyah terjaga di malam hari kemudian dia mencari suaminya. Tiba-tiba Aisyah memegang kaki Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan Nabi pada saat itu dalam keadaan sujud.
Aisyah berkata :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
● Aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidur, maka akupun mencari beliau. Lalu tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau, sementara beliau sedang sujud, dan kedua telapak kaki beliau dalam kondisi tegak berdiri.” (HR Muslim no 486)
Kalau seandainya Nabi bercahaya maka tidak perlu mencari-cari Nabi karena dengan sendirinya akan nampak. Namun jika yang dimaksud cahaya disini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam putih adalah tampan maka ini benar. Tetapi kalau keluar lampu atau sinar dari beliau, maka ini tidak benar.
Oleh karena itu, orang-orang musyrikin zaman dahulu mengejek Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, mereka mengatakan:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً
● Dan mereka berkata, Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat itu) memberi peringatan bersama dia’.” (QS Al-Furqan : 7)
Jadi, orang-orang musyrikin zaman dahulu berangan-angan kalau Rasul itu dari kalangan malaikat. Sekiranya dari tubuh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar cahaya maka semua akan beriman, karena ini adalah mu’jizat. Realitanya adalah dari tubuh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidaklah keluar cahaya seperti yang dikatakan sebagian orang. Dan para Rasul seluruhnya pun demikian.
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ
●Dan Kami tidak mengutus para Rasul sebelummu (Muhammad) kecuali mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar (sebagaimana manusia yang lain).” (QS Al-Furqān : 20)
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tatkala melempar jumrah saat musim haji, para shāhabat menaungi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan baju karena Nabi kepanasan.
Ummu Hushoin radhiyallahu ‘anhaa berkata :
حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ، فَرَأَيْتُهُ حِينَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، وَانْصَرَفَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَمَعَهُ بِلَالٌ وَأُسَامَةُ أَحَدُهُمَا يَقُودُ بِهِ رَاحِلَتَهُ، وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ عَلَى رَأْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّمْسِ
●Aku berhaji wadaa’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akupun melihat beliau tatkala beliau melempar Jamrotul ‘Aqobah beliau berlalu sambil menaiki tunggangannya. Bersama beliau ada Bilal dan Usamah, salah satunya menggiring tunggangan beliau, dan yang lainnya mengangkat bajunya di atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena terik matahari.” (HR Muslim no 1298)
Seandainya tubuh Nabi bercahaya dan cahayanya memantulkan kembali cahaya matahari tersebut maka Nabi tidak akan kepanasan, karena cahaya matahari kalah dengan cahaya Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Cerita-cerita ini merupakan kisah yang lemah. Selain itu cerita-cerita ini merupakan bentuk celaan terhadap ‘Abdullah, bapak Nabi, seakan-akan bapaknya Nabi memiliki istri simpanan atau bergaul dengan pezina atau menerima wanita yang menuntut istibdha’ (ingin mencari bibit unggul). Kisah-kisah seperti ini tidak bisa dijadikan dalil.
Abdullah kemudian menikah dengan Aminah bintu Wahb dan istrinya akhirnya mengandung Nabi. Disebutkan bahwasanya bapak Nabi yaitu ‘Abdullah ketika sedang berdagang ke negeri Syam, beliau mampir ke kota Madinah kemudian sakit dan meninggal dunia lalu dikuburkan di Madinah. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam masih dalam keadaan janin. Diantara hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan yatim sebagaimana Allāh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Quran:
أَلَمْ يَجِدك يَتِيمًا فَآوَى
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendapati engkau dalam keadaan yatim maka Allah menaungimu.” (QS Adh-Dhuha : 6)
Keyatiman yang sempurna adalah seseorang yang lahir dalam keadaan ayahnya sudah tidak ada.Ada pula orang yang status yatimnya menyusul, dia lahir di saat ayah dan ibunya masih hidup namun seiring berjalannya waktu ayahnya kemudian meninggal. Namun yatimnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah yatim yang sempurna dimana Muhammad dilahirkan pada saaat ayahnya sudah tidak ada.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَهَذَا أَبْلَغُ الْيُتْمِ، وَأَعْلَى مَرَاتِبِهِ
Ini adalah keyatiman yang paling puncak dan tingkatan yang tertinggi” (Al-Bidayah wa an-Nihaayah 3/383)
Kemudian tidak lama setelah itu ibunya juga meninggal dunia di saat beliau masih kecil.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dilahirkan setelah ayahnya meninggal dunia. Para ulama menyebutkan hikmahnya yaitu:
⑴ Ada yang mengatakan bahwasanya agar tidak terjadi tuduhan yang mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam diajari oleh ayahnya, sementara kita tahu bahwa ayahnya berada dalam praktek kesyirikan, sebagaimana adat jahiliyyah, sehingga bisa jadi ada yang menuduh dengan berkata, “Apa yang dibawa Muhammad adalah dari adat jahiliyyah.”
Namun Allah ingin Dia yang langsung mengurus Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, sehingga tidak perlu kepengurusan ayahnya.
⑵ Ada yang mengatakan agar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak punya hutang budi kepada ayahnya.
⑶ Ada yang mengatakan bahwa untuk memberi pelajaran kepada anak yatim bahwasanya keyatiman bukanlah halangan untuk mencapai keberhasilan.
Apabila kita perhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dirawat oleh ibunya dalam waktu yang cukup lama dan dirawat dengan sangat baik maka ini membuktikan bahwa peran ibu sangatlah penting. Apabila kita menengok sejarah para Nabi, kebanyakan mereka juga dirawat oleh ibu-ibu mereka, diantaranya:
Nabi Musa, di dalam Al-Quran disebutkan bahwa ibunyalah yang mengurusnya.
Nabi ‘Isa, yang diurus oleh ibunya Maryam.
Nabi Isma’il dirawat oleh Ibunya Haajar dan jauh dari ayahnya Ibrahim ‘alaihis salam
Karena itulah, peran ibu dalam mendidik anak amat sangat penting. Suatu hal yang penting pula, bahwa apabila seseorang hendak menikah agar mencari istri yang shalihah. Karena keberhasilan anak sangat tergantung kepada keberhasilan seorang ibu.Banyak ulama yang lahir dari tarbiyah/didikan ibu-ibu mereka.
Abdul Muthholib dianugerahi 10 putra dan 6 putri.
10 putra tersebut adalah : 1. Al-Haarits (putra tertua) dan ibunya adalah Shofiyyah binti Jundub, 2. Az-Zubair dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 3.’Abdul ‘Uzza (yang dikenal dengan Abu Lahab) dan ibunya adalah Aminah binti Haajr, 4. Al-Muqowwam dan ibunya adalah Haalah, 5. Dhiror dan ibunya adalah Natlah, 6. Abu Tholib dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 7. Hajl dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 8. Abdullah (ayah Nabi) dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah (yang menunjukan bahwa Abdullah saudara kandung seayah seibu dengan Az-Zubair dan Abu Tholib), 9. Hamzah dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 10. Al-‘Abbas dan ibunya adalah Natlah
Adapun 6 putri tersebut adalah : 1. Shofiyyah, 2. Ummu Hakim (yang dikenal dengan Al-Baidhoo’), 3. ‘Atikah, 4. Umaimah, 5.Arwa, dan 6. Barroh
(lihat Al-Lu’lu’ al-Maknuun fi shirat An-Nabiy al-Makmuun 1/62-63)
0 Response to "Peran kakek Nabi Muhammad SAW dalam pengasuhan Abdullah."
Post a Comment